Perjanjian Baku atau Perjanjian Standar

Kemarin saya membahas mengenai voucher gratis dari sebuah restoran. Di voucher tersebut terdapat beberapa kalimat yang cukup sulit dibaca, sehingga cenderung diabaikan oleh konsumen yang kurang jeli. Kalimat-kalimat dengan ukuran font dan warna yang cukup sulit dibaca ini, dalam bahasa Inggris disebut ‘Terms and Conditions” atau dalam bahasa Indonesia berarti ‘Syarat dan Ketentuan’.

Bila dilihat dari sudut pandang hukum perikatan, maka syarat dan ketentuan termasuk ke dalam perjanjian sepihak. Dikatakan sepihak karena tidak terdapat tawar menawar antara pelaku usaha dan konsumen. Inilah yang kemudian disebut perjanjian standar atau perjanjian baku. Perjanjian baku biasanya berupa sebuah formulir yang berisi mengenai kesepakatan antara pelaku usaha dan konsumen. Di dalam formulir tersebut pihak pelaku usaha sudah mengatur mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Nantinya yang perlu dilengkapi hanya hal-hal yang bersifat subyektif, seperti waktu dan identitas.

Tujuan dari pelaku usaha dalam menerapkan perjanjian baku adalah untuk menghemat waktu. Karena dalam hal ini tidak perlu terjadi proses tawar menawar. Selain itu, perjanjian baku juga diterapkan untuk membuat keseragaman terhadap pelayanan yang diberikan kepada konsumen. Dengan adanya perjanjian baku, maka semua konsumen diperlakukan sama.

Meskipun memberi keuntungan dalam hal efisiensi, namun perjanjian baku memiliki kekurangan. Yakni menempatkan konsumen dalam posisi yang lemah. Hal ini terjadi karena yang membuat perjanjian tersebut adalah pihak pelaku usaha. Biasanya yang bertugas untuk membuat perjanjian ini adalah staff legal dari pelaku usaha. Seorang staff legal tentu memiliki pemahaman yang sangat baik mengenai hukum dan mengetahui ‘celah hukum’ yang dapat dimanfaatkan demi kepentingan pelaku usaha.

Pihak pelaku usaha cenderung membuat perjanjian baku yang akan melindungi kepentingannya bila terjadi hal yang tidak diinginkan dan menimbulkan potensi kerugian kepada pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya hak pelaku usaha dan kewajiban konsumen yang terdapat di dalam sebuah perjanjian baku. Dalam hal perjanjian baku konsumen bukan lagi raja, melainkan sapi perahan.

Satu-satunya kekuasaan yang dimiliki oleh konsumen terhadap perjanjian baku adalah untuk menolak penawaran yang diberikan oleh pelaku usaha. Ini berarti bila konsumen tidak setuju dengan ketentuan yang terdapat di dalam perjanjian baku, maka satu-satunya pilihan yang dimiliki oleh konsumen adalah untuk tidak menerima penawaran yang diberikan oleh konsumen. Istilah kerennya adalah ‘take it or leave it’.

Oleh karena itu, konsumen dituntut untuk jeli dan sedikit rewel dalam menanggapi penawaran dari pelaku usaha. Perhatikan isi perjanjian baku dengan seksama. Salah mengartikan satu buah titik saja bisa berakibat fatal terhadap kepentingan konsumen.

Leave a Comment