Melindungi Konsumen dari Klausula Baku

Berbicara mengenai klausula baku tentu kurang lengkap bila tidak disertai dengan pembahasan mengenai perlindungan konsumen terhadap klausula baku. Ketentuan mengenai pencantuman klausula baku sebenarnya telah diatur di dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Biar lebih enak, undang-undang ini kita singkat UU PK.

Pasal 18 UU PK terdiri dari 4 ayat. Ayat (1) berisi ketentuan yang tidak boleh dicantumkan dalam sebuah klausula baku, yaitu:

  1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
    Anda pernah membaca karcis parkir yang berisi “Segala kehilangan dan kerugian menjadi tanggung jawab pemilik kendaraan”? Inilah bentuk pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, dalam hal ini pengelola jasa parkir kepada pemilik kendaraan (baca artikel Kemenangan Konsumen Melawan Klausula Baku Karcis Parkir
  2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
    Di bagian bawah suatu nota atau bon pembelian barang kita sering menemukan kalimat ini: “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”. Ini juga dilarang, tapi masih sering kita temukan.
  3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh  konsumen.
    Ini berkaitan dengan ketentuan nomor 2. Tentu kalau barang dikembalikan uang juga harus dikembalikan.
  4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan yang sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
    Tentu Anda tidak ingin jika suatu saat Anda membeli sebuah mobil dengan cara dicicil, lalu pada suatu saat Anda sedang berada di luar kota dan berhalangan untuk membayar cicilan kendaraan, Ketika pulang, tiba-tiba mobil yang Anda parkir di garasi berpindah ke garasi penjual dan uang Anda tidak bisa dikembalikan.
  5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
    Ini berkaitan dengan asas pembuktian yang dianut oleh hukum Perdata kita (Pasal 1865 KUH Perdata), yaitu barangsiapa yang mendalilkan suatu hak wajib membuktikannya. Sedangkan konsumen sangat sulit untuk melakukan pembuktian, karena kurangnya pemahaman konsumen. Oleh karena itu UU PK menganut asas pembuktian terbalik, yaitu beban pembuktian ada pada pelaku usaha.
  6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
    Tentu Anda tidak ingin ketika sedang berobat ke dokter gigi dan uang yang Anda bawa tidak cukup. Lalu si dokter berkata: “Ya udah, karena uangmu tidak cukup, gigimu saya bor aja, gak usah ditambal.” Ini sama aja bo’ong.
  7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
    Ini baru saja saya alami. Beberapa hari yang lalu pihak catering langganan saya menelpon, katanya harga catering naik Rp. 1.000,-. Saya salut kepada pengelola catering tersebut. Bukan ahli hukum, tapi tahu bagaimana bertindak sesuai dengan hukum.
    Setiap perubahan terhadap klausula baku harus mendapat persetujuan konsumen. Konsumen juga berhak untuk memutuskan apakah akan tetap menggunakan layanan yang ditawarkan atau berhenti dari layanan tersebut.
  8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
    Yang ini saya kurang jelas. Tapi anehnya di penjelasan tertulis “Cukup jelas”. Ada yang bisa bantu?

Lalu pada ayat (2) terdapat larangan untuk mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

Pada ayat (3) berisi ketentuan bahwa klausula baku yang tidak memenuhi ketentuan di ayat (1) dan (2) dinyatakan batal demi hukum. Ingat, batal demi hukum berbeda dengan dapat dibatalkan. Tunggu postingan saya selanjutnya.

Ayat yang terakhir, yaitu ayat (4) merupakan peraturan peralihan, agar pelaku usaha segera menyesuaikan klausula baku yang telah dibuatnya dengan ketentuan UU PK.

Adapun sanksi terhadap ketentuan ini adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 62 ayat (1) UU PK.

6 thoughts on “Melindungi Konsumen dari Klausula Baku”

  1. hi saya coba bantu untuk point h…apabila kita menggadaikan barang dan kita tidak mampu membayarnya maka pihak penggadaian berhak untuk melelang barang yang kita gadaikan.

    semoga pandangan saya dapat membantu

    terima kasih

    Reply
  2. Selamat sore,
    Saya ingin bertanya atau sekedar share mengenai diri saya sebagai konsumen yang merasa kecewa dengan salah satu toko di kalibata city jakarta selatan.
    Sebenarnya saya tidak begitu mengerti tentang ada atau tidaknya undang-undang di negara ini yang mengatur tentang penukaran atau pengembalian barang yang telah dibeli. Ceritanya berawal dari saya membeli sebuah jaket pada tanggal 16 november 2011 seharga 750 ribu, kemudian setelah saya bawa pulang, saya merasa ada yang kurang cocok dengan warna dan model jaket yang saya beli, kemudian saya menghubungi penjual jaket tersebut melalui kaskus untuk menanyakan, apakah jaket tersebut bisa saya modif ditoko tersebut dan dengan tambahan biaya berapa, kemudian dibalas oleh ybs, untuk bagian kerah bisa dg biaya 50 ribu, namun untuk bagian kantong tidak bisa karena akan merusak kulit jaket.
    Sampai disitu saya sempat berpikir dan bertanya kembali, lalu apakah saya bisa menukar jaket ini pak, kan baru dua hari berjalan, label dan notanyapun masih ada, kemudian dijawab maaf tidak bisa pak.
    Dari sini masalah berawal, saya komplain ke penjual, kenapa tidak bisa?, barang yang dibeli dengan syarat kondisi masih seperti pada saat awal membeli masih ada label dan nota pembelian kan biasanya bisa ditukar atau dikembalikan?, si penjual mulai kelihatan kesal dan menelepon dengan mengatakan saya melecehkan dia karena dia hanya ukm kecil, coba bapak beli barang di m*tahari, bisa tidak ditukar atau dikembalikan?!, saya jawab bisa, karena saya jelas beberapa kali menukar barang di m*tahari, dan bisa asal disertai struk dan tidak lebih dari satu minggu. Kemudian si penjual ini dengan arogan berkata, kalau ditoko saya tidak bisa anda mau apa?!, akhirnya saya jadi tahu seberapa tingkat kecerdasan si penjual dan mengakhiri pembicaraan karena saya percaya bukan solusi yang akan saya dapatkan tapi emosi jiwa jika pembicaraan diteruskan.
    Yang ingin saya tanyakan, dalam posisi konsumen seperti saya, apakah salah jika dalam waktu tertentu saya meminta untuk diberi kesempatan untuk menukar barang jika barang yang saya beli kurang sesuai dengan keinginan saya?, karena saya pernah membaca di website YLKI yang menyebut salah satu usaha perlindungan terhadap konsumen adalah pemberian jangka waktu satu minggu oleh penjual untuk menukar barang yang sudah dibeli. Bukankah sekarang dunia perdagangan sudah menempatkan pembeli sebagai raja dengan dilindungi undang-undang, berbeda dengan waktu jaman penjajahan dimana penjual menempatkan diri sebagai raja.
    Mohon bantuan dan informasinya, mohon maaf jika ada kata-kata saya yang salah, terima kasih.

    Reply
  3. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
    Yang ini saya kurang jelas. Tapi anehnya di penjelasan tertulis “Cukup jelas”. Ada yang bisa bantu?

    Mohon maaf Saudaraku Wibowo Turnadi, Kami mencoba memberikan sedikit pengetahuan yang kami miliki untuk ikut berbagi terkait Pasal 18 ayat (1) huruf “h” UUPK .

    Contoh : Seorang konsumen yang kredit kendaraan roda dua/roda empat, karena ingin segera memiliki kendaraan maka menandatangani Perjanjian Kredit yang dibuat oleh Finance (Perjanjian baku) nah sehubungan Finance ingin punya hak yang didahulukan dan hak Exekutorial maka sesuai UU No.42 TH 1999, Calon Kreditur dan Calon Debitur membuat Akta dihadapan Notaris (Akta Notariel) sesuai dengan Perjanjian aslinya, kemudian Akta Notariel tersebut didaftarkan dikentor Pendaftaran Fidusia (MENKUM-HAM) sementara berada di Propensi, nah terkait Ps.18 ayat (1) huruf “h” tersebut diatas Tidak diperbolehkan membuat surat kuasa yang isinya Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran, kalaupun itu dilakukan oleh Pelaku usaha/Finance berpotensi melanggar larangan Ps.18 ayat (1) huruf d dan h UUPK sehingga dapat dipidana 5 TH Penjara atau Denda 2 Milyar (Ps. 62 UUPK), kesimpulannya untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan Konsumen tidak diperbolehkan menguasakan kepada Pelaku usaha/Finance apalagi surat kuasa dibawah tangan” Penjara” urusannya.

    Semoga bermanfaat saudaraku, Salam…….

    Reply
    • Pak terkait perjanjian dengan finance yang dijaminan kendaraan (BPKB) secara fidusia. Saya bingung pak terkait bunyi kata “BARANG YANG DIBELI” dalam pasal 18 huruf d dan h. Sebap saya baca dibeberapa atikel menjelaskan, ikatan dengan finance bukan jual beli, tetapi ikatan pembiayaan konsumen (Finance lease).

      Apa pasal itu jadi tidak mengikat dgn jenis kredit pembiayaan. Mohon pencerahannya pak?

      Reply
  4. pak saya beli ke jne, trus saya g tau klo itu barang bm
    tru saam petugas jne saya di suruh gnti jminan 1,5 jta
    untuk mengurus surat bea cukai
    trus knpa harus saay yang tnggung??
    kan saya beli nya ke batam pak..
    trus klo saya g mau saya mau di penjarakan
    apa bnar hukum kyak gto pak??

    Reply

Leave a Comment